Jumat, 03 Desember 2010

PILIH KAOS DISTRO, KARENA DESAIN TIDAK PASARAN

PADA masa Pasar Tanah Abang belum terbakar, guyonan ini kerap meramaikan hari-hari menjelang Lebaran: para majikan shopping di mal, pembantu dan sopir berbelanja ke Pasar Tanah Abang. Pada Hari Raya, eh, juragan dan bedinde ternyata berbaju kembar. Aduh! Betapa malunya si juragan yang jatuh gengsi. Lelucon ini-ada yang benar-benar terjadi-yang meledek mal-mal dan “memuji” Pasar Tanah Abang, sudah jarang terdengar. Salah satu sebabnya, kini ada banyak toko atau outlet yang menempatkan unsur eksklusif sebagai prioritas saat memajang dagangannya.

Salah satunya adalah distro alias distributor outlet. Ini gerai “rumahan” yang menjual pakaian trendi yang didesain sendiri dan dijual secara terbatas. Kiat ini jitu dalam melindungi gengsi anak muda yang selalu ingin tampil beda. Harga barang-barang distro termasuk bersaing. Dalam arti, tak semurah Pasar Tanah Abang tapi masih di bawah toko-toko besar-apalagi butik.

Gua suka beli di sini, soalnya desainnya oke dan enggak pasaran,” ujar Wina, 16 tahun, seorang siswi SMU Tarakanita. Bersama tiga temannya, dia mampir ke Cynical MD, sebuah distro di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk membeli sejumlah kaus. Pelayan distro, seorang anak muda bergaya punk-lengkap dengan anting-anting dan lingkaran tato di tubuh-sibuk melayani pilihan ketiga nona muda itu.

Kemunculan distro yang membidik pasar kaum muda terhitung masih seumur jagung. Dan notabene merupakan wujud kecerdasan bersiasat anak muda dalam menghadapi dominasi merek-merek besar di pasar. Yang kerap disebut distro adalah muara mode dari gerakanunderground serta semangat independensi kaum muda yang melanda berbagai lini, seperti busana, musik, dan film. Jangan salah: omzetnya menggiurkan untuk ukuran usaha rumahan-bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan.

Tren berbelanja ke distro tengah mengguncang beberapa kota besar di Indonesia. Di Jakarta, selain Cynical MD, ada nama seperti Reload 781, Hips, Locker, The Glitters, dan Jumps. Distro yang dikelola oleh anak-anak muda berusia 20-an ini kebanyakan berlokasi di Jakarta Selatan. “Di Jakarta Selatan anak-anak gaulnya banyak,” Feny Febriyani memberikan alasan. Feny adalah salah satu pemilik Reload 781 yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di Bandung, sekitar 30 distro menyebar di beberapa pojok kota. Medan juga tak ketinggalan dalam urusan perdistroan.

Singkat kata, distro muncul sebagai “demam” baru baru selepas tren factory outlet atau butik. Pasarnya dinamis, pertumbuhannya pesat. Lihat saja Cynical MD di kawasan Kebayoran Baru itu, yang berdiri pada November 2001. Kini Arissuno Prayoga-pemilik Cynical-25 tahun, sudah punya dua gerai lain di Jakarta dan Bandung. Dari sebuah sudut dengan sewa Rp 500 ribu sebulan, dia sekarang bisa menyewa toko dengan tarif Rp 100 juta setahun.

Rahasia sukses Aris ada pada orisinalitas desain produk, terutama kaus. Tak lama lagi ia akan menambah distro baru bertema Ultra Crime.“Konsep dasarnya meniru apa yang orang bilang si jahat. Monster dalam kemasan pop,” ujarnya. Tiap desain jumlahnya beberapa lusin saja. Konsep ini populer disebut mini-retail.

Cynical MD bisa dibilang pelopor distro di Jakarta. Nama Cynical MD adalah gambaran sikap sinis terhadap dokter atau medical doctor.” Aku tak percaya sama dokter,” ujar Aris, yang mengaku kehilangan ibunya gara-gara salah diagnosis dokter. Ketika pertama kali buka, seluruh desain eksterior dan lampu neon toko bernuansa merah darah-menggambarkan sikap Aris. Eh, siapa sangka, kesinisan itu mendatangkan duit.

Kendati banyak didominasi oleh kaus, distro sejatinya lebih dari sekadar kaus. Tengoklah 347 Boardrider. Ini distro terbesar di Bandung yang menjual lebih dari 100 item di tokonya. Ada kaus, jaket, kemeja, sampai papan selancar dan papan skate hingga sepatu sandal. Banyak distro juga menjual kaset band independen dalam dan luar negeri.

Beberapa distro juga menerima titipan produk distro lain, baik di Jakarta maupun Bandung. Harga yang ditawarkan umumnya cocok buat kantong tipis anak muda. Di Reload 781, misalnya, untuk kaus berlabel sendiri dijual dengan kisaran harga Rp 70-an ribu. Sedangkan kaus titipan dijual dengan harga Rp 60-an ribu.

Gelombang kemunculan distro mirip ombak yang saling susul di pantai gaya hidup. Pertumbuhannya terasa sejak demam anak muda akan kaus C-59 di Bandung, DEC (baca diece atau diejek-Red.) di Semarang, Dagadu di Yogya, dan Joger di Bali. Basis produksinya adalah kaus dengan tulisan nyleneh namun personal. Tiap distro tampil dengan keunikan produk masing-masing.

Umpama Cynical MD mengusung punk, 347 Boardrider menonjolkan gaya para penggila selancar pantai (surfing) dan papan seluncur (skateboard). Dibuka pada tahun 1996 dengan modal patungan Rp 1 juta, empat orang pemilik distro ini adalah penggila selancar dan papan seluncur. ” Mulanya, sih, karena kita enggak kuat beli produk luar yang mahal, jadi bikin sendiri,” tutur Dendy Arman, 29 tahun, salah seorang pemilik 347. Pakaian surfing dari luar, macam City Surf, selain mahal juga susah dicari. Di Indonesia, hanya bisa dibeli di Bali. Padahal mereka (saat itu) masih berstatus mahasiswa. Kini? Usaha itu telah menghantarkan empat pemilik Boardrider menjadi hartawan muda.

Kunci sukses mereka adalah membumikan gaya dan model skater yang terbuka ala New York. Tak mengherankan jika produk mereka banyak digandrungi penggila olahraga selancar. Mereka juga menerbitkan majalah khusus skate dan membentuk perusahaan rekaman indielabeluntuk band lokal. “Kalau surfing kurang berkembang. Maklum, jauh dari pantai,” ujar Dendy tergelak.

Perusahaan rekaman mereka, Spills Record, telah berhasil memunculkan kelompok musik potensial seperti Superman Is Dead (SID) yang beraliran punkrock, The Milo, dan Fable. Dengan majalah komunitas, bernama Ripple, semua unit usaha mereka disatukan dalam holdingbernama Flatspills Lab.

Kegandrungan anak muda pada distro juga didorong rasa mudah bosan mereka terhadap barang yang ditawarkan di mal atau di toko-toko serba ada-yang umumnya kalah cepat dalam hal desain.” Kalau beli di sini, kita jadi lebih gaul, funky and smart,” kata Suber Adile, 21 tahun, seorang mahasiswa Bandung, saat berbelanja di 347.

Tiarma Dame Ruth Sirait, seorang desainer muda asal Bandung, menyebut semangat konsumen distro ini sebagai mentalitas independen kaum muda. Semangat ini pula yang menghidupkan bisnis distro. “Mentalitas independen ini membuat mereka ingin tampil beda dengan lingkungan sekitar dalam banyak hal, terutama dalam cara berpakaian,” kata Tiarma. Semangat ingin bebas itu memang bisa dilihat, misalnya, pada para skater, punk, surfer, atau sejumlah band musik.

Ciri umum mereka adalah casual dan (sejujurnya) norak. Bahkan ada yang bilang memalukan. Tapi siapa peduli? Karena yang penting benar adalah ini: rasa merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar